Konflik antar Agama di Indonesia

Semua ajaran agama pada dasarnya ba­ik dan mengajak kepada kebaikan. Na­­­mun nyatanya tidak semua yang di­anggap baik itu bisa bertemu dan se­iring sejalan. Bahkan, sekali waktu da­pat terjadi pertentangan antara yang sa­­­­tu dengan yang lain. Alasannya tentu ber­­ma­cam-macam. Misalnya, tidak mes­ti yang dianggap baik itu benar. Juga, a­pa yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh Tuhan dan alasan lain  yang dapat dimuncul­kan.
Menurut Joachim Wach, seorang sar­jana ahli dalam sosiologi agama, se­tidaknya terdapat dua pandangan ter­hadap kehadiran agama dalam suatu ma­sya­rakat, negatif dan positif. Pen­dapat  pertama mengatakan, ketika a­ga­ma hadir dalam satu komunitas,  perpecahan tak dapat dielakkan. Dalam hal ini, agama dinilai sebagai faktor dis­integrasi. Mengapa? Salah satu se­babnya adalah ia hadir dengan se­perangkat ritual dan sistem ke­percayaan yang lama-lama melahirkan sua­tu komunitas tersendiri yang ber­beda dari komunitas pemeluk agama la­in. Rasa perbedaan tadi kian intensif ke­tika para pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan keyakinan bah­wa satu-satunya agama yang benar a­dalah agama yang dipeluknya. Se­dangkan yang lain salah dan kalau per­lu dimusuhi.
Pandangan yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama berperan se­bagai faktor integrasi. Katakanlah ke­tika masyarakat hidup dalam suku-su­ku dengan sentimen sukuisme yang ting­gi, bahkan di sana berlaku hukum rim­ba, biasanya agama mampu ber­peran memberikan ikatan baru yang le­bih menyeluruh sehingga terkuburlah ke­pingan-kepingan sentimen lama sum­ber perpecahan tadi. Agama dengan sistem kepercayaan yang ba­ku, bentuk ritual yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam hu­bung­an sosial mempunyai da­­ya ikat yang amat kuat bagi integrasi masya­rakat.[5]
Teori di atas bagi bangsa Indonesia a­mat mudah dipahami. Sebelum Islam da­tang, bentuk persatuan memang su­dah ada dan terjalin kuat di bumi nu­santara ini. Apa yang mengikat? Bisa ja­di oleh emosionalitas keyakinan pada a­gama Hindu atau Buddha, atau bisa sa­ja karena rasa sukuisme (ikatan a­gama dalam sosiologi kadang-kadang di se­jajarkan dengan ikatan kesukuan, bah­kan juga nasionalisme. Misalnya o­leh Durkheim). Tetapi pada hal ter­sebut kita bertanya, sejauh mana dan se­berapa kuat rasa persatuan (in­tegrasi) tadi terwujud? Tanpa mengu­rangi rasa homat pada Hayamwuruk dan Gajah mada dari Majapahit dalam me­rintis persatuan nusantara, ba­gaimana pun juga kehadiran Islam di nu­santara mempunyai andil yang a­mat besar dalam menciptakan Negara Ke­satuan Republik Indonesia, dari u­jung Sumatera sampai ujung Timor.
Dalam kaitan ini, thesis yang amat me­narik diajukan oleh Prof. Dr. Naquib al-Attas dari Universitas Malaysia, bah­wa berkat Islamlah maka bahasa Me­layu berkembang cepat di nusantara i­ni, yang pada akhirnya diresmikan se­bagai bahasa Indonesia, bahasa na­sional. Mengapa bahasa Melayu yang re­latif digunakan oleh kelompok kecil sang­gup mengeser bahasa Jawa yang do­minan? Naquib menjawab, bahasa Ja­wa telah dirasuki falsafah Hindu yang feo­dalistik dan membagi manusia pada ke­las-kelas, sementara Islam yang ber­sifat demokratis, tidak mengenal kelas. Sa­tu-satunya alternatif  yang tepat a­dalah berkomunikasi dengan bahasa Me­layu. Jalinan antara sifat Islam yang de­mokratis, bahasa Melayu yang di­gunakan, lalu disebarkan oleh para pe­dagang yang merangkap sebagai juru dak­wah, maka pada waktu yang relatif sing­kat tersebarlah bahasa Melayu ke seantero nu­santara ini. Islam memperkuat pe­nyebaran bahasa, bahasa mendorong ser­ta memperkuat timbulnya persatuan nu­santara, dan pada gilirannya lahirlah ke­satuan nasional dengan Islam se­bagai dasarnya, ditambah bahasa Melayu dan na­sionalisme sebagai pilarnya.
Dengan demikian, mengikuti teori Joachim Wach, bagaimana pun juga ke­hadiran dan eksistensi  Islam di In­donesia ini jelas merupakan faktor in­tegrasi sekaligus konflik yang amat besar, yang mam­pu mengikis friksi-friksi sukuisme se­belumnya.

Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia, beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa tempat lain.
Kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa konflik di Maluku pada awalnya disebabkan oleh karena kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Eskalasi politik meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk memperoleh dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik, karena isu agama itu muncul belakangan.
Konflik di antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan non keagamaan

Sumber : http://msibki3.blogspot.com/2013/03/konflik-agama-agama-di-indonesia.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep, Metode dan Alat, dan Regulasi Audit

Algoritma Water Jug

Perbedaan Strata Jabatan